Thursday, January 25, 2024

Sebuah Pesan (62)

SEBUAH PESAN  62


(Tien Kumalasari)


 


Bu Rahman mengusap air matanya.


“Bu, kamu tidak usah malu untuk mengakui kesalahan. Kamu juga tidak usah malu untuk meminta maaf. Tidak semua manusia itu bisa melangkah dengan mulus dalam meniti kehidupan ini. Ada saatnya aku bisa mengerti apa yang sebenarnya kamu rasakan, tapi ada saatnya ketika aku juga merasa lelah untuk memahami isi hati kamu. Banyak proses yang harus dilalui untuk mencapai sebuah titik. Itu bukan masalah  saat kita menyadarinya."


Bu Rahman menangkap sebuah pesan seperti yang dikatakan suaminya. Banyak proses yang harus dilalui untuk mencapai sebuah titik.


“Maksudnya, akhirnya aku bisa mengerti adanya sebuah kebenaran yang aku ingkari selama ini, bukan?”


“Benar. Aku bersyukur kamu bisa mencapainya.  Yakinkan pada diri kamu bahwa kamu adalah seorang ibu yang sangat memikirkan nasib putrimu, sehingga melupakan sebuah nilai luhur seorang manusia dalam menghadapi orang lain. Bahwa menyakiti itu salah, bahwa membuat orang terluka itu tidak benar, bahwa merasa diri benar itu juga salah.”


“Aku sangat menyesal.”


“Jangan menyesal karena menyadari bahwa Damian bisa menjadi penolong kita, atau karena Damian ternyata punya harta yang kamu tidak mengetahui sebelumnya. Damian orang yang sederhana. Aku mengakuinya sejak kamu menganggapnya dia miskin, dan karena itu aku mempercayakan anak bungsu aku pada tangannya.”


“Aku sungguh merasa bersalah. Tapi benar, perasaan itu muncul karena dia menjadi penolong bagi keluarga kita. Apakah itu salah? Aku merasa bahwa Damian menganggap aku baik pada dia, setelah mengetahui bahwa dia banyak uang.”


Pak Rahman tertawa kecil.


“Memangnya, kalau iya, kenapa? Bukankah itu benar?”


Bu Rahman menelan ludahnya.


“Aku sangat malu. Lalu apa yang harus aku lakukan? Tetap membencinya agar aku tidak dianggap mata duitan?” tanya bu Rahman dengan perasaan resah.


“Jangan begitu, abaikan semua alasan, karena berbuat baik adalah keharusan.”


Bu Rahman kembali mengusap air matanya yang masih saja menetes.


“Ya sudah, biarkan semua berlalu, mari menapak ke jalan lurus yang ada di depan kita. Kamu harus berjuang untuk sehat, aku akan berjuang bersama anak dan menantu untuk menegakkan perusahaan yang hampir roboh ini. Jangan lagi menangis, agar rasa sakit segera berlalu dari hati kamu."


Bik Sarti mengetuk pintu, lalu masuk ketika pak Rahman menyuruhnya masuk. Dia membawa nampan berisi makanan, dan sepiring kecil obat-obatan.


“Saatnya nyonya makan dan minum obat,” katanya sambil meletakkan nampan yang di bawanya ke atas nakas.


“Bawa keluar lagi saja, Sarti, aku mau makan di ruang makan bersama tuan.”


“Baiklah, Nyonya,” jawab bik Sarti dengan mata berbinar.


***


Raya yang semakin merasa sehat, dengan tekun dan penuh perhatian melakukan pembenahan di kantor perusahaan ayahnya. Beberapa personal yang kurang kompeten dipindahkan ke divisi lain. Semuanya dalam pengawasan ketat. Uang yang keluar masuk harus sepengetahuan Raya atau Damian yang hanya mendampingi sang istri. Damian tidak sepenuhnya memegang perusahaan itu. Ia hanya membantu istrinya, karena istrinya lebih berhak untuk menggantikan kedudukan ayahnya. Pak Rahman hanya sesekali datang, mengontrol dan membenahi mana yang kurang benar. Tapi Raya harus diacungi jempol karena dia benar-benar bisa menguasai situasi hanya dalam beberapa bulan saja, walau dia juga sambil mengawasi salon miliknya. Pengalaman di perusahaan ayahnya, memberi pelajaran baginya agar tidak terlalu mempercayai karyawan tanpa pengawasan. Tumpukan uang bisa membuat orang lupa segalanya.


Pak Rahman sangat puas atas kerja anak dan menantunya. Bu Rahman yang perlahan bisa menata batinnya, mulai menaruh perhatian pada keluarga Damian. Ia juga bisa menyapanya dengan manis.


Sementara itu kandungan Raya sudah semakin membesar, Damian tak tega membiarkannya sibuk di kantor sendirian. Disaat senggang dia membantu istrinya di kantor, dan menyuruhnya istirahat saat sang istri merasa lelah.


***


Di hari Minggu itu Damian sedang bersantai bersama istrinya. Damian menatap wajah istrinya yang tampak lelah.


“Besok saatnya aku kontrol kandungan.”


“Akan aku antar kamu."


Akhirnya  Damian sudah berhasil menyelesaikan kuliahnya, dan menunggu saat wisuda, sehingga ia bisa sepenuhnya menggantikan tugas sang istri di perusahaan.


“Kata dokter, bulan depan saatnya anak kita lahir,” kata Damian sambil mengelus perut sang istri.


“Iya benar, gerakannya sudah semakin kencang.”


“Aku bermaksud membuat satu kamar lagi di rumah ini, bagaimana menurutmu?”


“Sudah ada dua kamar, kan?”


”Kalau anak kita lahir, harus ada kamar yang lebih luas. Bagaimana kalau kamar almarhum bapak kita benahi, atau kita buat agak besar, supaya lebih nyaman saat kamu menyusui atau merawat bayi?”


“Terserah kamu saja. Lakukan mana yang terbaik.”


Maka dalam waktu sebulan kamar adik bayi sudah selesai. Kamar yang lebih luas, jendela yang agak besar, agar lebih mudah udara masuk ke dalamnya. Damian dan Raya sudah menyiapkan segala peralatan bayi, yang ditata di kamar itu dengan apik, Ada almari pakaian bayi, box bayi yang lucu, dan tempat tidur yang lebih besar dari tempat tidur ayah dan ibunya di kamar sebelah. Damian juga membuat pintu yang tersambung dari kamarnya sendiri ke kamar bayi, agar ia bisa segera datang saat mendengar anaknya menangis.


Raya merasa puas. Banyak yang dibenahi di rumah yang tadinya sederhana itu. Damian tak segan mengeluarkan uang demi anak yang masih dalam kandungan istrinya. Ia harus merasa nyaman tinggal di rumah orang tuanya.


***


Bik Sarti yang seperti biasa mengantarkan buah dan sayuran untuk Raya, hari itu datang bersama bu Rahman.


Damian dan Raya segera menyambutnya dengan gembira.


“Perut kamu sudah besar, wajah kamu kelihatan berkilat-kilat. Sepertinya beberapa hari lagi kamu akan melahirkan,” kata bu Rahman.


“Benarkah Bu? Ini juga sudah sering kenceng-kenceng, begitu.”


“Apa lagi yang kamu butuhkan? Ibu akan membantu menyiapkannya.”


“Sepertinya sudah, coba Ibu lihat di kamarnya."


Raya mengantarkan ibunya melihat kamar bayinya, yang sudah disulap menjadi kamar yang nyaman, dengan perlengkapan yang sudah memadai.


“Ibu akan membelikan kereta bayi ya?” kata bu Rahman dengan wajah berseri.


“Apakah itu perlu untuk bayi yang baru lahir Bu?” kata Raya.


“Tidak apa-apa Bu, terima kasih sekali kalau ibu mau membelikannya sekarang. Terkadang anak bayi juga harus dibawa jalan-jalan untuk menghirup udara segar,” kata Damian yang tidak ingin mengecewakan ibu mertuanya.


Wajah bu Rahman berseri. Senang rasanya diijinkan ikut andil dalam mempersiapkan kebutuhan cucunya yang akan lahir.


“Nanti aku akan mengajak Sarti jalan-jalan, untuk melihat-lihat. Ya Sar?” kata bu Rahman kepada bik Sarti yang sedang memasukkan buah-buahan ke dalam kulkas setelah mencucinya, lalu menata sayuran di atas meja.


“Ada apa Bu?”


“Nanti kita jalan-jalan untuk melihat-lihat kereta bayi.”


“Sekarang Bu?”


“Setelah dari sini, langsung saja.”


“Baiklah,” kata bik Sarti dengan gembira. Ia melihat rumah Raya dan Damian sudah jauh lebih bagus. Rupanya demi menyambut kehadiran si buah hati, Damian kemudian merenovasi rumahnya juga sambil membenahi kamar untuk si bayi.


Walau tidak semewah rumahnya sendiri, bu Rahman melihat rumah Damian sudah lebih pantas dan nyaman.


“Kamu baru memperbaiki rumah kamu?”


“Iya Bu, demi menyambut kedatangan cucu ibu nanti,” kata Damian dengan riang.


 “Ya sudah, ibu mau pergi dulu.”


Damian meraih tangan ibu mertuanya dan menciumnya, lalu bu Rahman tiba-tiba memeluknya dan berbisik di telinga Damian.


“Terima kasih atas semuanya, dan maafkan ibu ya.”


Damian tertegun, sudah berkali-kali ibu mertuanya mengucapkan itu. Bahkan setiap ketemu. Damian sudah melarangnya, tapi bu Rahman tetap melakukannya.


“Ibu, jangan berkata begitu lagi. Ini kewajiban saya, dan saya tidak pernah menganggap ibu bersalah. Jangan lagi ibu mengucapkan itu ya,” bisik Damian lembut sambil membalas pelukan ibu mertuanya.


Bu Rahman melepaskan pelukan itu, lalu membalikkan tubuhnya, berjalan mendekati mobil yang menunggunya, sambil mengusap air matanya yang tak pernah bisa ditahannya.


***


Hari itu Kamila dan suaminya datang dari Jakarta, dengan membawa anaknya yang sudah agak besar. Mereka sedang berada di rumah sakit, karena Raya akan melahirkan.


Si kecil Adena, sudah belajar berjalan dengan berpegangan pada sesuatu. Lucu sekali. Tapi kedua orang tua dan nenek serta kakeknya sedang merasa gelisah karena Raya belum juga melahirkan, walau sudah dua jam berada di ruang bersalin.


Damian apa lagi. Ia mondar mandir di pintu ruang bersalin itu dengan wajah gelisah. Baru tadi pagi Raya mengeluh perutnya sakit, dan kenceng-kenceng. Ia bahkan sudah mengeluarkan sedikit darah. Damian segera melarikannya ke rumah sakit. Keluarga Rahman berikut keluarga Abi yang memang kebetulan datang berkunjung, segera menyusul ke rumah sakit.


Adakah debar yang lebih kencang dari saat menunggu kelahiran sang buah hati? Kata hati Damian berkali-kali.


Tiba-tiba seorang perawat keluar.


“Bagaimana suster?” tanya Damian begitu melihatnya.


“Bapak Damian?”


“Ya.” debar hati Damian semakin kencang.


“Bapak diijinkan masuk untuk menunggui istri Bapak.”


“Oh, baiklah.”


Tanpa menunggu dua kali, Damian masuk. Ia melihat sang istri sedang mengejan. Peluh bercucuran di wajahnya. Damian mendekat. Mengusap wajahnya dengan talapak tangannya.


“Ray, kuat ya Ray.”


“Dam, sakit Dam …”


“Tidak, sebentar lagi anak kita lahir,” kata Damian sambil memegangi tangan istrinya yang berkeringat.


Dokter memberi aba-aba agar Raya kembali mengejan.


“Sedikit lagi, sedikit lagi, tuh, kepalanya sudah kelihatan.”


“Ayo Ray, kamu kuat,” Damian terus memberinya semangat.


“Sedikit lagi Bu, ayo …” sang dokter terus memberi semangat.


Lalu tiba-tiba Raya menghembuskan napas lega. Rasa sakit itu sudah hilang, seorang bayi diangkat , masih berlumuran darah, memekik nyaring, menggema memenuhi ruangan.”


“Wouwww… ganteng sekali…” teriak dokter dan bidan yang menangani, serentak.


Damian melonjak kegirangan. Diciumnya sang istri bertubi-tubi.


“Terima kasih Ray, terma kasih telah melengkapi kebahagian kita…"


Dan lengking itu terdengar menggema sampai diluar, membuat keluarga pak Rahman serentak berdiri mendekat ke arah pintu.


Abi menggendong Adena yang berteriak-teriak kegirangan. Barangkali hati kecilnya merasa bahwa ada kehadiran saudaranya yang akan menemaninya bermain nanti.


Pintu terbuka, Damian keluar dengan berlinangan air mata.


“Bagaimana Dam?” tanya mereka serempak.


“Alhamdulillah, sudah lahir, ganteng seperti saya," katanya sambil bercanda. Lalu semua orang memeluknya untuk memberi selamat.


Gema tangisan bayi adalah gema bahagia, yang menghapus semua kegelisahan yang melanda.


***


Hari itu Damian di wisuda. Pak Rahman dan bu Rahman hadir, bersama Raya dan bayinya, yang diberinya nama Alvin Satria.


Hari itu adalah hari kebahagiaan yang lebih lengkap. Damian yang berhasil meraih gelar keren, Insinyur, serta kehadiran anak laki-lakinya yang bernama Alvin Satria.  Lalu rasa nyaman dan damai menghiasi hati mereka masing-masing.


Untuk mencapai sebuah titik, banyak proses yang harus dilalui. Titik itu adalah bahagia yang didamba.


***




TAMAT


 


 


Suara yang tak begitu keras itu terasa seperti menusuk dan merajang-rajang katinya. Laki-laki tampan yang adalah suaminya, yang baru sehari menikahinya, menghardiknya dengan kejam.


“Kamu harus tahu, bahwa aku tidak mencintai kamu. Jangan berharap banyak dengan pernikahan ini,


Terdengar pintu dibanting, dan gadis itu terguling di lantai. Pingsan.


 


Hai, cerita apa pula ini        BUNGA TAMAN HATIKU


Tungguin ya.


________________________

No comments:

Post a Comment

Arsip Post

Kau Tetap Ku Sayang

Kau Tetap Ku Sayang ~ Ali Assegaf  *Kau Tetap Kusayang* Evie Tamala Dinyanyikan oleh : *Ali Assegaf* (Nur Ali Muntari)   Bukan aku kejam Ata...