Thursday, January 25, 2024

Sebuah Pesan (38)

SEBUAH PESAN  38


(Tien Kumalasari)


 


Damian senang Raya sudah bisa diajak bercanda, dan tidak lagi mengeluh dadanya sakit. Namun dokter belum mengijinkan pulang karena harus dipastikan bahwa memar di jaringan yang terluka sudah benar-benar sehat.


Ketika mereka sedang bercanda dengan manis, tiba-tiba pak Rahman muncul. Raya agak kecewa, karena mengira sang ibu juga datang bersama ayahnya, tapi ternyata tidak. Ayahnya datang sendiri, dan tampaknya ingin mengajak Damian bicara.


“Dam, duduklah di sini, aku ingin bicara,” kata pak Rahman sambil menunjuk ke arah sofa. Damian menurut, dan mereka duduk berhadapan.


“Aku ingin mengatakan sesuatu sama kamu. Aku mohon kamu tidak tersinggung.”


“Katakan saja Pak.”


“Tentang uang yang sudah kamu bayarkan ke rumah sakit. Ijinkan aku menggantinya. Aku tidak ingin menyusahkan kamu, di awal pernikahan kalian, yang pastinya membutuhkan sesuatu untuk membenahi semuanya. Aku tahu kamu tak ingin aku membantu kamu, tapi ijinkan untuk kali ini, karena Raya sedang sakit. Aku tidak tahu berapa banyak biaya yang nanti akan diperlukannya. Barangkali lebih banyak dari yang kamu bayangkan, kita tidak tahu kan?”


Damian menundukkan wajahnya. Ia melihat ketulusan di hati ayah mertuanya. Ini sangat berbeda dengan nyinyiran istrinya yang selalu berusaha menyakitinya dan selalu merendahkannya.


“Saya mohon maaf Pak. Bukannya saya tidak mau dibantu, tapi Raya sudah menjadi istri saya. Apapun yang terjadi adalah tanggung jawab saya. Biarpun saya miskin, tapi saya akan memberikan yang terbaik untuk istri saya. Dan saya yakin, saya bisa melakukannya.”


“Dam, seperti di awal percakapan ini, aku sudah bilang bahwa janganlah kamu tersinggung, karena sama sekali aku tidak bermaksud merendahkan kamu. Tapi aku akan ikut merasa sedih, jika kamu melakukan semua ini dengan … misalnya dari meminjam dari orang lain.”


“Bapak tidak perlu khawatir. Saya tidak meminjam dari siapapun juga. Semuanya murni uang saya.”


Pak Rahman menatap Damian tak percaya. Tapi dia tak mau mengatakan apapun lagi tentang keinginan mengganti uangnya.


“Bapak harus percaya kepada saya, dan sekali lagi saya mohon, Bapak tidak ikut memikirkan tentang uang itu. Bapak harus percaya bahwa saya bisa melakukannya, dengan segala kemampuan yang saya miliki.”


“Baiklah, aku percaya sama kamu, tapi aku mohon dengan sangat, kalau kamu memerlukan sesuatu, jangan sungkan untuk mengatakannya sama aku. Kamu sudah menjadi anakku, susah dan senangmu aku juga ikut merasakannya.”


Damian menatap ayah mertuanya dengan terharu.


“Saya percaya, Bapak mengasihi putri Bapak, dan tentu juga suaminya. Terima kasih atas perhatian Bapak, dan percayalah saya akan menjaga Raya dengan segala kekuatan saya. Miskin atau kaya, akan saya buat Raya bahagia.”


“Terima kasih, Damian, aku juga percaya, kamu akan menjadi suami yang akan bisa melindungi dan mencintai istri kamu dengan baik.”


“Saya hanya mohon doa dan restu dari Bapak, dan semoga juga ibu akan segera memberikan restu untuk kami berdua.”


“Aku akan selalu meyakinkan ibu mertua kamu, bahwa kamu adalah suami yang baik untuk anaknya.”


“Terima kasih, sekali lagi saya ucapkan,” kata Damian yang kemudian meraih tangan ayah mertuanya lalu menciumnya sangat lama.


***


Di rumah, bu Rahman sedang bergembira, karena Kamila mengabarkan bahwa dia sedang hamil.


“Mila, ibu bahagia sekali, karena akan segera mendapatkan cucu. Kamu memang luar biasa, bisa menyenangkan dan membahagiakan ibu. Terima kasih Mila.”


“Bu, nanti Raya juga akan segera memberi cucu untuk ibu.”


“Ah, jangan bicara soal itu dulu. Sebenarnya ibu kasihan sama Raya. Hidupnya pasti menderita.”


“Mengapa ibu berkata begitu?”


“Bagaimana tidak menderita, hidup begitu sederhana, saat dia sakit suaminya meminjam uang entah dari mana untuk membayar biaya rumah sakitnya.”


“Kasihan dong Bu, memangnya habis berapa? Dan sebetulnya Raya sakit apa? Ibu belum mengabari Mila lagi soal sakitnya Raya.”


“Belum ya, kalau menurut ayahmu yang tadi menemui dokter, katanya akibat dari kecelakaan waktu itu, dadanya terbentur stir mobil pastinya, terus ada memar didalam, yang tidak dirasakannya waktu itu. Sekarang dia baru merasakan sakitnya. Tapi dokter bilang tidak berbahaya.”


“Kamila juga belum sempat menelpon Raya, karena tadi juga ke dokter.”


“Kamu tidak muntah-muntah?”


“Tidak Bu, hanya sering pusing dan terkadang mual. Kalau lagi mual, jadi nggak doyan makan.”


“Bawaan orang hamil memang tidak sama. Tapi itu tidak apa-apa, nanti setelah lewat tiga atau empat bulan pasti sudah tidak merasa mual. Malah penginnya makan banyak.”


“Benarkah?”


“Iya, benar.”


“Ya syukurlah Bu, ini tidak terlalu berat sih, hanya malas ngapa-ngapain.”


“Tidak apa-apa, nanti juga akan baik-baik saja.”


“Sedianya, saat mendengar Raya sakit, pengin pulang, tapi Mila juga lagi seperti ini.”


“Tidak apa-apa, semoga adik kamu segera membaik. Ini bapakmu sedang menemui Damian. Barangkali juga di rumah sakit.”


“Kenapa? Apa bapak marah sama Damian?”


“Tidak, bapakmu mana pernah marah sama Damian. Tadi hanya ingin mengganti uang yang dibayarkan Damian ke rumah sakit, yang kemungkinannya duit dapat pinjam, nanti kalau suaminya banyak hutang Raya juga ikut susah.”


“Nanti Mila akan menawarkan bantuan untuk Damian.”


“Begitu lebih baik, kasihan kalau adik kamu terkena imbasnya.”


“Tidak perlu mengasihani Raya, dia bahagia kok.”


Tiba-tiba pak Rahman muncul, dan mendengar sebagian percakapan istrinya. Dia dengan tegas mengatakan, bahwa Raya bahagia.


“Bapak, sudah ketemu Damian?”


“Bu, sudah dulu ya, ini mas Abi baru saja datang,” kata Kamila yang segera menutup ponselnya.


“Itu tadi Kamila?”


“Iya, dia sudah hamil.”


“Syukurlah, aku senang, segera mendapat cucu. Bagaimana keadaannya?”


“Dia baik-baik saja, tidak muntah, hanya pusing dan terkadang mual.”


“Itu biasa bagi orang hamil kan?”


“Bapak sudah ketemu Damian?”


“Sudah, dia membayarnya bukan dari meminjam uang.”


“Dia bilang begitu? Dan Bapak percaya?”


“Aku harus percaya, karena dia bersungguh-sungguh.”


“Dia itu kan sombong. Miskin tapi sombong.”


“Ibu jangan begitu. Sudah biarkan saja. Kita akan melihatnya dari jauh, seperti apa Damian menjaga istrinya. Raya tampak sangat bahagia. Bukankah itu yang kita inginkan?”


Bu Rahman mencibir. Ia tak pernah yakin Damian bisa mencukupi kehidupan istrinya secara layak.


***


Agus menegur Damian, karena meninggalkan istrinya yang sedang sakit.


“Tidak apa-apa, dia sudah lebih baik dan tidak mengeluh sakit. Dia yang menganjurkan aku segera masuk kerja.”


“Istrimu sangat baik. Walau anak orang kaya, mau hidup sederhana bersama kamu. Itu luar biasa, Dam. Kamu sangat beruntung.”


“Dan itu yang mendorong aku untuk segera mengurus kuliah aku. “


“Kamu sudah mulai mengurusnya kan?”


“Ya, aku tetap mohon agar setelah mulai kuliah, aku diijinkan bekerja paruh waktu.”


“Aku sudah mengurusnya, dan diijinkan. Kamu tenang saja.”


“Terima kasih Gus, aku tetap akan melakukan tugas aku dengan sebaik-baiknya.”


“Kapan kira-kira istri kamu bisa pulang?”


“Secepatnya. Mungkin dua atau tiga hari lagi, setelah dokter mengatakan bahwa dia benar-benar sehat.”


“Syukurlah, jadi kamu bisa bekerja dengan tenang, dan kalau kamu sudah mulai kuliah nanti, kamu juga tidak lagi terbebani dengan sakitnya istri kamu.”


“Iya, tentu saja. Ini nanti aku juga mau ijin setelah makan siang, aku akan mengurus masalah perkuliahan itu. Harusnya aku ikut tes, tapi melihat nilai aku, aku dibebaskan untuk ikut tes.”


“Syukurlah, aku ikut senang. Baiklah, urus yang lebih penting.”


“Tapi masalah aku kuliah ini, jangan dulu istri aku tahu, aku mohon kamu juga merahasiakannya ya Gus. Barangkali pada suatu hari ketemu istri aku, lalu kamu keceplosan.”


”Mengapa begitu Dam?”


“Aku hanya ingin memberi kejutan pada istri aku saja.”


Agus tertawa.


“Baiklah, kalau begitu.”


***


Bu Rahman sangat kesal, ketika susah-susah menjemput Raya ke rumah sakit, Raya memilih membonceng sepeda butut sang suami.


“Kamu itu kan habis sakit, jangan terkena angin. Jadi lebih baik naik mobil saja. Sopir sudah menunggu dari tadi.”


“Tidak Bu, mas Damian sudah susah-susah minta ijin dari temoatnya bekerja, agar bisa menjemput Raya. Jadi biarlah Raya bersama dia saja.”


Bu Rahman mencibir mendengar putrinya memanggil ‘mas’ pada suaminya, sementara sebelumnya hanya menyebut namanya saja.


“Huh, mas … mas … Lagian ibu juga susah-susah datang dari rumah untuk menjemput kamu, sementara bapakmu sedang banyak pekerjaan di kantor.”


“Sudahlah Bu, hanya masalah siapa yang menjemput. Itu mas Damian sudah menunggu, kasihan kalau terlalu lama. Terima kasih ibu sudah menjemput. Nanti Raya akan main ke rumah kalau sudah benar-benar sehat,” kata Raya sambil menghampiri suaminya yang sudah menunggu.


Bu Rahman merasa kesal. Ia bergegas mengampiri mobilnya, dimana sopirnya sudah menunggu.


“Ayo kita pulang,” katanya sambil menghempaskan pintu mobil dengan keras.


“Non Raya tidak ikut bersama kita?”


“Tidak, lihat saja, dia memilih membonceng suaminya dengan motor bututnya itu.”


Sang sopir tertawa.


“Namanya juga suami Bu, pastilah lebih diutamakan.”


“Memalukan. Damian itu sombong. Sepeda motor saja butut seperti itu, ee … dia membayar jutaan untuk biaya sakit istrinya, dan tidak mau diganti. Padahal uang juga dari pinjam, entah siapa yang percaya sama dia, kok bisa-bisanya meminjamkan uang sebanyak itu untuk orang miskin seperdi dia,” omel bu Rahman, bahkan di sepanjang perjalanan pulang ke rumah.


***


Ketika  memasuki rumah dan Damian langsung mengajaknya ke kamar, Raya heran ketika melihat tempat tidurnya sudah berganti dengan kasur busa yang tebal, beralaskan seprei cantik dan wangi. Raya juga melihat ada vas berisi bunga-bunga mawar kesukaannya, diletakkan di atas meja.


“Dam, ini apa-apaan? Kamu menyambut kepulangan aku dari rumah sakit dengan sesuatu yang sangat mewah. Aku cukup senang dengan tempat tidur kita yang dulu, biar kasur tipis tapi nyaman tidur bersama kamu,” sungut Raya.


“Aku kasihan sama kamu. Habis sakit, tidur dengan alas yang keras.”


“Memang kita punyanya seperti itu, tidak masalah buat aku. Dam, aku bahagia dengan apa yang kamu miliki, aku tak ingin lebih.”


Damian tersenyum. Ia merangkul istrinya erat, mencium ubun-ubunnya dengan kasih sayang.


“Tak bolehkah aku memberikan sesuatu untuk istriku?”


“Aku tak ingin suamiku bersusah payah untuk aku. Percayalah Dam, aku bahagia dengan yang sudah ada. Jangan lagi membuang-buang uang untuk hal yang tidak berguna.”


“Membuat istri lebih nyaman, apakah tidak boleh?”


“Aku sudah merasa nyaman Dam, jangan berlebihan.”


“Kamu ternyata cerewet ya, lebih baik segera tidur di kasur yang sudah aku sediakan. Uups,” Damian segera menggendong sang istri lalu ditidurkannya di atas kasurnya yang baru.


‘Hm, begini cara aku menyenangkan istri, jangan membantah, ya?” katanya sambil berbaring di samping istrinya.


Raya menatap suaminya dengan berlinang air mata. Damian mengusap wajah istrinya, menghapus air mata itu dengan telapak tangannya.


“Aku sudah berjanji untuk tidak akan membuat air mata kamu tumpah, mengapa kamu menumpahkannya?”


"Berjanjilah untuk tidak berlebihan dalam memanjakan aku. Aku bahagia dengan apa yang sudah ada padamu. Sungguh Dam, belah dadaku kalau kamu tidak percaya,” kata Raya dengan mata masih berkaca-kaca.


“Yaa ampun, mengapa aku harus membelah dada istri aku? Aku sudah tahu dari pandangan mata kamu, bahwa kamu mencintai aku dengan tulus, dan menerima aku apa adanya. Tapi ketika aku bisa, ijinkah aku berbuat lebih untuk kamu.”


“Aku tak ingin kamu lelah Dam.”


“Tidak, aku tidak akan lelah membuat kamu senang dan bahagia. Lihat mawar itu, kamu suka? Walaupun mawar ini tidak aku petik dari kebun di rumah kamu, tapi aku menitipkan kasih sayang dan cinta aku padanya,” kata Damian.


Raya bangkit, kemudian meraih vas berisi untaian mawar berwarna-warni. Raya menciumnya sambil memejamkan mata. Damian terpesona melihat mata terpejam itu. Ingatannya segera melayang ketika dia menyerahkan mawar yang baru dipetiknya saat masih menjadi tukang kebun, lalu Raya menciumnya, dengan mata terpejam seperti yang dilihatnya sekarang ini.


“Sudah untuk bunganya. Ada yang lain sedang menunggu lhoh.”


Damian mengambil vas itu dan meletakkannya kembali di atas meja.


Raya tersenyum. Hari masih siang, tapi mengapa harus menunggu malam untuk menumpahkan segala rasa?


“Dam, bukankah kamu harus kembali ke bengkel?”


Damian tak perlu menjawabnya.


***


Besok lagi ya.

No comments:

Post a Comment

Arsip Post

Kau Tetap Ku Sayang

Kau Tetap Ku Sayang ~ Ali Assegaf  *Kau Tetap Kusayang* Evie Tamala Dinyanyikan oleh : *Ali Assegaf* (Nur Ali Muntari)   Bukan aku kejam Ata...