Thursday, January 25, 2024

Sebuah Pesan (39)

 .*KEJORA PAGI*

πŸ’™πŸ’ŒπŸ”·✉️πŸ©·πŸ“§πŸ”ΆπŸ“±πŸ’›  ┏━━━━━━••❁✿❁••━━━━━━┓

.         *=SEBUAH PESAN=*  ┗━━━━━━••❁✿❁••━━━━━━┛

πŸ’™πŸ’ŒπŸ”·✉️❤️πŸ“§πŸ”ΆπŸ“±πŸ’›

              


             .Bagian : 39.



Monday, July 10, 2023



(Tien Kumalasari)


 


Hari menjelang sore ketika Raya menggeliat, terbangun dari tidurnya. Seperti mimpi ia ketika melihat seseorang tidur di sampingnya, tampak sangat nyenyak. Raya mengingat kejadian yang dialami mereka berdua. Wajahnya merona merah. Damian ternyata seorang pecinta yang manis, yang membuatnya terbuai dalam ayunan cantik, wangi dan menghanyutkan.


Tiba-tiba Raya teringat saat di rumah sakit, Damian mengatakan bahwa ia harus segera sembuh, karena Damian menginginkan segera punya anak? Raya tersenyum geli. Damian terkadang lucu, tapi menggemaskan. Tak jarang dia harus mencubit pinggangnya atau lengannya saat dia mengatakan yang aneh tapi lucu.


Raya menarik selimut yang terburai di bawah tempat tidurnya, lalu bangkit dan bermaksud keluar dari kamar untuk pergi ke kamar mandi. Tapi ketika dia masih duduk ditepi pembaringan, Damian menariknya, membuatnya kembali terbaring.


“Dam, ini sudah sore. Jangan sampai terlambat shalat Ashar,”


“Sebentar ….”


“Iih, kenapa tiba-tiba kamu manja begini?”


“Aku memang ingin dimanja oleh kamu,” Damian pura-pura merengek.


“Ayo mandi dan shalat dulu, akan aku buatkan kamu minum teh kesukaan kamu.”


“Aduh, aku sampai lupa membeli susu untuk kamu,” tiba-tiba Damian bangun dan memukul kepalanya pelan.


Raya tertawa keras.


“Hanya karena  lupa beli susu, kamu paniknya seperti orang baru saja kehilangan sesuatu.”


“Sungguh aku minta maaf, benar-benar lupa.”


“Tidak, tiba-tiba aku tidak suka coklat susu. Aku akan minum teh manis seperti kesukaan kamu.”


“Jangan memaksakan sesuatu yang sebenarnya kamu tidak suka.”


“Damian, aku sudah menjadi istri kamu, apa yang kamu suka, aku juga harus suka. Sungguh aku tidak ingin lagi minum coklat susu. Nanti badanku gendut, lalu kamu bosan sama aku, bagaimana?”


“Raya, biar kamu gendut seperti bola, aku tetap akan suka sama kamu, tidak akan bosan selamanya. Kamu mengerti?” katanya sambil memeluk erat istrinya.


“Aduh Dam, nanti kita tidak lagi punya waktu untuk shalat, ayo bangun dan mandi,” kata Raya sambil memaksa bangun, lalu melompat menjauh untuk menghindari tarikan tangan suaminya.


Ia melangkah menuju pintu lalu sebelum membukanya, ia memeletkan lidahnya, membuat Damian gemas bukan main. Ia bangkit untuk mengejar, tapi Raya sudah menutupkan pintunya lalu berlari ke kamar mandi,


Kamar mandi di rumah Damian tidak sama dengan yang ada di rumahnya. Dimana setiap kamar ada kamar mandinya. Sekarang Raya harus keluar dulu dari kamar, lalu beranjak ke belakang, Didekat dapur itulah kamar mandi rumah Damian. Tapi Raya tidak mengeluh karena hal ini. Apapun yang ada pada Damian, dia menyukainya. Dia sanggup menjalaninya, susah ataupun senang, bersama suami yang sangat dicintainya.


Damian juga sudah sampai di depan kamar mandi, ia mengetuk-ngetuk pintunya keras, tapi Raya segan membukakannya.


“Raya, ayolah, supaya cepat, kita bisa mandi bersama-sama,” rengek Damian.


“Tidak mungkin, yang ada malah akan semakin lama. Aku sudah hampir selesai, tunggu saja,” kata Raya yang melanjutkan mengguyur tubuhnya lalu membalurnya dengan sabun.


“Raya, jahat banget sih.”


Raya mendengarnya, tapi dia hanya tersenyum dan melanjutkan kegiatannya mandi. Damian putus asa, lalu pergi ke dapur dan menuang air termos ke dalam teko yang sudah dibubuhinya teh celup. Ia selalu menggunakan teh celup supaya lebih cepat jadi. Berbeda dengan para penyuka teh yang lebih suka mengecor air panas pada sejumput teh  yang asli, dan itu akan terasa lebih mantap rasanya.


Damian sudah mengaduknya setelah memberikan  sesendok gula, kemudian membawanya ke depan.


“Saat itulah Raya sudah selesai mandi.


“Damian, aku sudah selesai, cepatlah.”


Damian ingin mengejarnya ke kamar, tapi Raya mengunci pintunya dari dalam, membuat Damian berteriak.


“Rayaaaaa.”


“Cepat mandi!” hanya itu jawaban Raya, dan terpaksa Damian menurutinya.


Suasana kehidupan pengantin baru yang sangat amat manis, tapi tetap tidak melupakan kewajibannya untuk beribadah.


***


“Raya, kamu lagi ngapain?” itu kata Kamila ketika menelpon Raya pada suatu pagi.”


“Aku sedang belajar memasak.”


“Belajar memasak sama siapa?”


“Sama buku. Aku beli buku resep masakan nih, mau masak apa saja bisa.”


“Bagus deh, ibu rumah tangga, gitu lhoh. Mau masak apa hari ini?”


“Sayur asem nih, yang gampang. Tapi aku juga akan menggoreng ayam.”


“Enak tuh, kalau dekat aku mau ke rumah kamu untuk mencicipi masakan kamu.”


“Sayang ya, kita berjauhan.”


“Aku nih lagi males ngapa-ngapain.”


“Mbak Mila kenapa?”


“Aku lagi hamil.”


“Yaaa? Hamil? Duh senangnya. Anak Mbak laki-laki atau perempuan?”


“Ya belum tahu dong Ray, kan baru awal kehamilan, belum kelihatan jenis kelaminnya.”


“Senangnyaaaa.”


“Pengin ya?”


Raya terkekeh geli.


“Damian bilang pengin, tapi aku pikir pelan-pelan dulu. Lagi belajar jadi istri yang baik nih. Baru kemudian belajar jadi ibu."


“Baiklah, saling doa aja ya, semoga semuanya baik-baik saja. Bagaimana ibu?”


“Ibu? Yaah, ibu tuh masih seperti kemarin-kemarin, belum ada tanda-tanda bahwa dia suka sama menantunya yang disebutnya miskin ini. Tapi aku bahagia bersamanya,”


“Iya, aku tahu. Kamu harus bersabar ya Ray?”


“Aku akan terus bersabar. Cinta aku harus aku perjuangkan sampai keluarga kita menyukainya.”


“Akan aku doakan kamu. Sudah dulu ya aku agak pusing nih, mau tiduran dulu.”


“Kalau nggak masak, makan apa?”


“Mas Abi menyuruh pesan saja, aku nggak boleh masak. Ini juga baru minta tolong tetangga untuk mencarikan pembantu. Aku sih sebenarnya nggak mau, tapi mas Abi memaksa, ya sudah, mau bagaimana lagi.”


“Iih, susah ya orang ngidam?”


“Setiap orang tidak merasakan hal yang sama, ada yang hanya sering pusing dan lemas, ada yang selalu muntah-muntah. Kamu tidak perlu takut. Sakitnya orang ngidam adalah sakit yang bahagia.”


“Belum bisa ngebayangin aku.”


“Semoga kelak anak kamu tidak rewel. Ya sudah, lanjutin masaknya, awas ya, jangan sampai gosong, goreng ayamnya.”


Raya tertawa, sambil menutup ponselnya. Senang rasanya, sudah mau punya keponakan, Apakah dirinya akan segera menyusul?”


***


Baru saja Kamila menutup ponselnya, bel tamu di rumahnya berdering. Agak bersungut Kamila melangkah ke depan, karena sebenarnya dia ingin segera berbaring di kamar.


Tapi sungut itu hilang manakala melihat siapa yang datang.


“Ibu Rama ….” teriak Kamila riang.


“Iih, Ibu Abi, nggak biasanya deh, panggil aku ibu Rama.”


Kamila terkekeh. Kita sudah menjadi istri orang, harus nama suami dong yang dibawa.”


“Kamu bisa aja deh. Eh, lagi ngapain kamu? Masak ya? Aku tadi tuh belanja, berharap bisa ketemu kamu, ternyata nggak ketemu. Kamu sudah punya stok bahan masakan satu kulkas penuh, apa?”


“Tidak, aku lagi segan memasak. Mas Abi juga tidak mengijinkan.”


“Memangnya kenapa?”


“Aku lagi hamil.”


“Haaaa, Mila … benarkah?”


Kamila mengangguk, sekaligus kasihan melihat sahabatnya yang divonis dokter untuk tidak bisa hamil.


“Ya ampun Mil, aku senang mendengarnya. Cepatlah melahirkan, dan kembar, nanti yang satu untuk aku,” candanya.


“Kembar? Kayaknya asyik deh punya anak kembar."


“Semoga ya Mil?”


“Kalau benar kembar, aku kasih ke kamu satu deh.”


“Benar?”


Melihat mata sahabatnya berbinar, membuat Kamila terharu. Diam-diam dia mengangguk, padahal belum tentu juga anaknya kembar.


 “Kamu tidak nampak ngidam? Muntah-muntah?” tanya Rosa.


“Tidak, hanya sering pusing, kadang mual. Kalau lagi mual, jadi susah makan, takut muntah. Tapi selebihnya aku baik-baik saja.”


“Syukurlah, aku ikut senang. Aduh, tahu begitu tadi aku bawakan buah-buahan yang rasanya agak masam. Katanya orang hamil suka itu.”


“Sudah, nggak usah dipikirkan. Mas Abi sudah membawakan banyak buah-buahan. Oh ya, aku suguhin apa nih enaknya? Mau minuman botol saja ya? Bener-bener lagi males nih aku,”


“Nggak usah, nanti kalau aku butuh minum, pasti aku ambil sendiri.”


“Sekalian ambil tuh, buah-buahan, mana yang kamu suka, di kulkas.”


“Nggak ah, itu buat orang hamil. Kalau bisa membuat aku ketularan hamil, aku mau,” canda Rosa.


“Ya ampun Rosa, aku tetap mendoakan kamu supaya benar-benar bisa hamil.”


“Dari pemeriksaan yang aku jalani, aku ini memang tidak subur.”


“Tapi kalau Allah menghendaki, tak ada yang tak mungkin lhoh Ros. Kamu tetap harus berdoa dan berharap. Doa yang sungguh-sungguh akan didengarkan olehNya.”


“Aamiin. Aku juga sudah selalu berdoa untuk itu.”


“Oh ya, apa aku belum cerita ya, soal Juwita?”


“Lhoh, masih ada nih, episode Juwita?”


“Kemarin dulu, ketika aku periksa ke dokter, aku melihat Juwita yang baru keluar dari ruang seorang dokter kandungan.”


“O, dia rajin periksa pula, rupanya.”


“Kalau wajar, aku tak perlu cerita.”


“Nggak wajar? Bagaimana ceritanya?”


“Tiba-tiba dia mendekati kami, lalu mengomel, mengeluh, katanya setiap dokter yang didatangi, selalu menolak ketika diminta untuk menggugurkan kandungannya.”


“Apa? Dia ingin menggugurkan kandungan?”


“Iya, katanya dengan keadaannya yang sedang hamil, susah bagi dia untuk mencari nafkah.”


“Ya Tuhan, kejam sekali dia. Lalu kamu bilang apa?”


“Aku hanya mengingatkan kalau keinginannya itu membuat dosanya semakin bertambah. Tapi dia tak peduli dosa. Dia tetap akan mencari jalan agar bisa menggugurkan kandungannya.”


“Aku begitu merindukan hadirnya seorang anak, dia yang dikaruniai kehamilan malah mau membuangnya. Aku akan mencari dia, nanti aku bilang sama mas Rama.”


“Untuk apa kamu mencarinya?”


“Aku akan melarangnya melakukan hal buruk itu. Kalau perlu akan aku bayar dia. Agar kelak bayinya bisa diberikan ke aku.”


“Kamu percaya sama dia? Bagaimana kalau … walaupun dia sudah dibayar, tapi tetap menggugurkan kandungan?”


“Akan aku awasi dia setiap saat. Tapi apakah dia masih ada di apartemen yang mas Abi sewakan untuk dia?”


“Nggak tahu aku, pastinya masih lah, kan apartemen itu disewa selama satu tahun.”


“Akan aku ajak mas Rama untuk mencarinya. Tidak apa-apa aku merawat anaknya, toh sebelumnya kami juga berencana untuk mengadopsi seorang anak.


“Yah, semoga kamu berhasil Ros, sekaligus menghalangi orang berbuat dosa, dan itu ada pahalanya lhoh.”


“Aamiin. Yang penting adalah anak itu, Mila.”


***


Sari sudah menempati sebuah rumah yang bagus di kampung. Darmo membelikannya, untuk sang istri tercinta. Melihat perhatian Darmo yang sedemikian besar, akhirnya tumbuhlah rasa suka di hati Sari.


Terkadang dia ikut membantu suaminya berjualan tahu di pasar, tapi terkadang dia di rumah saja, memasak untuk suaminya saat pulang.


Siang itu setelah memasak, Sari keluar rumah, bermaksud membeli es dawet yang dijual tak jauh dari rumahnya.


Ia belum sampai di tempat penjual es dawet itu, ketika tiba-tiba sebuah mobil berhenti di sampingnya. Sari berjalan agak kepinggir, karena merasa tak kenal dengan pengendara mobil itu. Tapi seorang wanita cantik tiba-tiba turun dari mobil, dan memanggil-manggil.


“Mbak … Mbak …”


Sari berhenti. Walaupun tidak menyebutkan nama, tapi hanya dia satu-satunya orang yang ada di tempat itu.


Ia menoleh, dan wanita itu melambaikan tangannya. Karenanya Sari kemudian berjalan mendekat.


“Ibu memanggil saya?”


“Iya Mbak, mau tanya, apakah ada seorang dukun yang tinggal di kampung ini?”


Sari terkejut. Dia belum lama tinggal di situ, dan belum pernah mendengar adanya seorang dukun. Lagian dukun apa kira-kira? Sari menatap bingung.


“Dukun?”


“Iya, dukun. Mm … maksud saya .. dukun bayi … atau dukun urut, begitu.”


”Wah, saya kok kurang tahu, karena saya juga orang baru di sini. Ibu mau mengurut bayi? Kalau ibu saya ada di sini, pasti dia bisa membantu. Ibu sering dimintai tolong orang untuk mengurut bayi.”


“Ibunya di mana?”


“Dia di kota Bu, jauh. Lha mana sih bayinya? Kelihatannya Ibu tidak membawa bayi?”


“Bayinya di sini, nih, di dalam perut.”


Sari menatap perut wanita itu, yang memang kelihatan buncit, walau belum terlalu besar.


“Saya bingung, bagaimana bayi di dalam perut minta diurut?”


“Yang di urut itu saya Mbak, biar bayinya keluar.”


Sari terbelalak. Si ibu ini dengan terang-terangan mengatakan bahwa bayi yang dikandungnya ingin dikeluarkan?


“Ibu … ingin … menggugurkan kandungan ini?”


“Iya, aku tidak sanggup merawat bayi.”


“Ya ampun Bu, sebaiknya jangan digugurkan. Berikan saja sama saya, saya mau merawat bayi, saya belum punya anak.”


“Oh ya? Kamu tahu nggak Mbak, saya ingin menggugurkan bayi ini, karena dengan kehamilan ini, saya tidak bisa mencari uang.”


“Tapi kasihan kan Bu, lagi pula itu dosa.”


“Ah, persetan dengan dosa. Kalau saya tidak bisa makan bagaimana?”


“Ibu punya mobil, bagaimana tidak bisa makan?”


“Mobil apa, ini mobil sewaan alias taksi. Tapi tunggu, kalau Mbak ingin bayi ini, boleh saja, saya akan mengandungnya sampai dia lahir, lalu bayinya saya berikan kepada Mbak. Tapi ada imbalannya.”


“Imbalan? Maksudnya saya harus membayar? Berapa?”


“Tigaratus juta.”


“Apa?”


Sari terbelalak kembali.


***


Besok lagi ya.

No comments:

Post a Comment

Arsip Post

Kau Tetap Ku Sayang

Kau Tetap Ku Sayang ~ Ali Assegaf  *Kau Tetap Kusayang* Evie Tamala Dinyanyikan oleh : *Ali Assegaf* (Nur Ali Muntari)   Bukan aku kejam Ata...