SEBUAH PESAN 40
(Tien Kumalasari)
Sari masih membelalakkan matanya ketika wanita itu melanjutkan perkataannya.
“Bagaimana Mbak?”
“Tunggu dulu, pasti saya salah dengar kan? Maksud … maksud … ibu … tigaratus ribu kan? Saya akan pulang sebentar, saya mau. Akan saya bayar sebagian sebagai tanda jadi, tapi saya harus tahu nama Ibu dan alamat Ibu, lalu Ibu juga harus menanda tangani surat perjanjian.”
Tanpa disangka, wanita itu terbahak-bahak, yang sesungguhnya bagi seorang wanita, sungguh memalukan tertawa begitu lepas, ditepi jalan pula.
“Gimana sih Bu? Ibu tertawa karena senang kan?”
“Senang? Saya tertawa karena ternyata Mbak begitu bodoh. Masa hidup saya selama tiga bulan lebih akan saya jual dengan tigaratus ribu? Bisa mati kelaparan dong saya.”
“Saya kok tidak mengerti, apa maksud Ibu sebenarnya? Ini kan bicara soal bayi yang nanti kalau lahir akan saya minta, dan saya bersedia membayar tiga ratus ribu rupiah.”
Wanita cantik itu memegangi perutnya yang terasa mengeras karena dirinya tertawa terlampau lepas.
“Ya ampun MBak. Dengar ya, memang ini tentang bayi yang akan saya lahirkan. Tapi sebelum saya melahirkan itu kan saya butuh makan, butuh minum, butuh pakaian dan banyak lagi kebutuhan saya lainnya. Kalau Mbak ingin tahu, dalam sebulan saya biasa menghasilkan uang hampir seratus juta rupiah. Sebulan Mbak, seratus juta rupiah.”
Sari melongo. Sebulan seratus juta rupiah?
“Dan … yah, hitung secara kasar saja, katakanlah saya tiga bulan lagi melahirkan, berarti saya butuh uang tiga ratus juta rupiah. Mbak mengerti?”
“O … gitu ya?” Sari tampak begitu bodoh. Tapi keinginan mencegah wanita itu menggugurkan kandungannya, sangat kuat dihatinya. Keinginan untuk meminta bayi itu juga begitu mengganggu perasaannya. Tapi tiga ratus juta?
“Jadi Mbak harus mengerti ya, kenapa saya ingin menghilangkan bayi yang sudah lima bulan lebih di dalam kandungan saya, itu karena dengan adanya bayi sialan ini, saya tidak bisa mendapatkan penghasilan,” terang wanita itu sambil terus memandang lucu ke arah Sari, yang diaggapnya begitu bodoh untuk mengerti apa maksud dan tujuannya.
“Memangnya Ibu bekerja apa? Bukankah bisa cuti saat melahirkan nanti, jadi tidak akan kehilangan pekerjaan? Dan itu gajinya kok besar sekali.”
Wanita itu mengerutkan keningnya. Masa ia harus mengatakan apa pekerjaannya? Tapi karena wanita di depannya tampak begitu lugu, maka dia mengatakannya.
“Saya itu tukang menyenangkan laki-laki. Bayarannya tinggi. Mbak belum mengerti juga? Saya penjaja cinta. Eh, bukan cinta, tapi kesenangan. Belum mengerti juga?”
Tapi kemudian Sari mengerti. Ia ingin mengucapkan sebuah predikat yang dimengertinya, tapi diurungkannya. Takut terdengar terlalu kasar. Baiklah, tukang menyenangkan laki-laki. Agak panjang ya, tapi setidaknya Sari sudah bisa mengerti.
Sari kembali melongo. Jadi bayi itu, pastinya tidak jelas siapa bapaknya, bukan? Sari mulai mengerti. Rasa iba kembali merambah hatinya. Iba terhadap bayi tak berdosa yang dianggapnya bayi sialan oleh ibu yang mengandungnya.. Ya Tuhan, bukankah dia tak berdosa dan ibunya lah yang berlumuran dosa?”
“Ya sudah, saya pergi dulu. Percuma ngomong sama kamu, ternyata tidak bisa membantu. Tapi di mana ya dukun itu? Biasanya di kampung tuh ada lho, dukun urut yang bisa menggugurkan kandungan,” omelnya sambil mendekati mobil.
“Mana ada dukun seperti itu di kampung ini?” kata batin Sari, tapi kemudian dia berteriak.
“Bu, tunggu Bu.”
“Saya mohon, jangan lanjutkan keinginan Ibu itu.”
“Apa maksudmu? Ini sudah menjadi keinginan aku.”
“Saya kira di sini tidak ada dukun yang mau melakukannya.”
“Katanya tadi. Mbak tidak tahu.”
“Saya kasihan pada bayi itu.”
“Bayi ini belum benar-benar hidup, untuk apa dikasihani?” katanya sambil meraih pintu mobil.
“Tunggu Bu, saya punya teman yang banyak duit, barangkali dia bisa memenuhi permintaan Ibu.”
“Benarkah?”
“Saya minta nomor kontak Ibu, dan secepatnya Ibu akan saya kabari.”
“Benarkah?”
Sari segera merogoh saku bajunya, mengambil ponselnya. Wanita itu tak keberatan memberikan nomor kontaknya, berharap ada yang bersedia membayar untuk kehidupannya sendiri dan bayinya.
“Ini, catat nomor kontak aku. Namaku Juwita.”
Sari urung membeli dawet. Ia melangkah ke rumah dengan seribu satu perasaan. Mengapa tiba-tiba hatinya tersentuh mendengar bayi tak berdosa akan dilenyapkan? Dan mana uang tigaratus juta yang diminta oleh wanita bernama Juwita yang ternyata seorang penjaja cinta?.
Sesampai di rumah, dia menelpon suaminya, menceritakan semuanya. Tapi bukannya sang suami ikut mendukungnya, malah memarahinya.
“Apa-apaan kamu itu? Mengapa tiba-tiba memikirkan urusan orang lain?”
“Aku kasihan pada bayi itu.”
“Kita akan segera punya bayi sendiri. Belum lama kita menikah, pasti kita akan mendapatkannya.”
“Bukan aku ingin segera punya bayi, aku kasihan pada bayi tak berdosa itu.”
“Dan tiga ratus juta itu? Mimpi, kamu ya?”
“Iya sih … tapi.”
“Ya sudah, ini aku sedang banyak pembeli. Jangan lagi bicara tentang bayi itu.”
Dan Darmo segera menutup pembicaraan itu dengan kesal.
“Ya ampun. Beda ya cara berpikir laki-laki dan perempuan?” gumamnya sambil menyandarkan tubuhnya di kursi.
Tiba-tiba Sari teringat pada Raya. Istri Damian yang anak orang kaya. Maukah dia menolongnya? Biarlah bayi itu nanti dirawat oleh Raya, yang penting dia bisa dilahirkan dengan selamat.
Tapi Raya yang dihubunginya juga seakan tak peduli. Bukan karena tidak kasihan pada bayi itu, tapi dari mana uang sebanyak itu dia dapatkan? Suaminya hanya seorang pegawai bengkel. Ibunya saja selalu mengatakan bahwa dia miskin.
“Bukannya aku tak peduli, Sari, tapi dari mana aku mendapatkan uang sebanyak itu? Orang itu sangat aneh ya. Belum pernah mengenal kamu, tapi mengatakan semuanya sama kamu.”
“Wanita yang tidak punya perasaan. Terus terang dia bilang mau menyingkirkan bayinya karena menghambat dirinya untuk mendapatkan penghasilan. Namanya bagus, hatinya busuk.”
“Kemana ayah bayi itu?”
“Pastinya ya tidak jelas lah Ray, dia kan wanita begituan. Aku juga segan menanyakannya.”
“Bagaimana ya Sari, aku sungguh tidak bisa membantu.”
“Barangkali kamu bisa, kan orang tua kamu kaya raya.”
“Yang kaya orang tuaku, tapi aku kan ikut suami aku.”
“Iya juga sih. Ya sudah kalau begitu. Aku kirimkan nomor kontak Juwita, barangkali kamu tertarik untuk menolong bayi itu.”
Sari menutup ponselnya dengan kecewa, lalu dia mengirimkan nomor kontak Juwita.
Raya termenung memikirkan cerita Raya tentang wanita bernama Juwita itu. Lalu tiba-tiba ponselnya berdering, dari Kamila, kakaknya. Memang sejak tadi dia tahu bahwa ada panggilan telpon, tapi dia sedang bicara sama Sari.
“Ya Mbak,” sapa Raya menjawab panggilan kakaknya.
“Aduh, aku menelpon dari tadi, kamu lagi bicara sama siapa sih?”
“Itu, tetangga aku, dia cerita tentang wanita yang mau menyerahkan bayinya, dengan imbalan tiga ratus juta.”
“Wah, kenapa begitu mahal?”
Lalu Raya mengatakan seperti apa yang diceritakan Sari. Tentu saja Kamila terkejut. Ia sangat mengenal Juwita. Dia tahu Juwita ingin menggugurkan kandungannya ke beberapa dokter yang gagal, karena tak satu pun dokter bersedia. Lalu dia akan memberikannya kepada orang tapi dengan imbalan tiga ratus juta?
“Aku mengenal dia. Oh ya, aku belum pernah cerita tentang Juwita ya, tapi apakah dia orang yang sama? Jangan-jangan hanya namanya saja yang sama.”
“Mbak mengenalnya? Aku diberi nomor kontaknya.”
“Benarkah, tolong berikan sama aku, barangkali Rosa tertarik tentang wanita ini.”
“Mbak belum cerita, bagaimana Mbak mengenal Juwita.”
“Ya, dulu aku pernah ingin cerita, ada saja halangannya. Nanti aku cerita, tapi kirimkan dulu nomor kontaknya.”
Raya memberikan nomor kontak yang tadi diberikan Sari.
***
Rosa tertegun mendapat telpon dari Kamila. Ia baru saja akan menelpon, rupanya.
“Mila, kita itu seperti punya kontak batin ya, aku baru memegang ponsel ingin menelpon kamu, ee … kamu sudah menelpon duluan.”
“Masa sih? Iya barangkali, ada kontak batin. Ini aku mau cerita tentang Juwita.”
“Yaah, itu juga yang ingin aku ceritakan. Kemarin sore aku mencari Juwita di apartemennya, maksudnya mau bicara soal bayi itu. Tapi ternyata dia tidak ada lagi di sana. Apartemen yang sudah dibayar mas Abi, dipindah tangankan pada orang lain. Entah kemana lagi dia.”
“Dasar perempuan mata duitan,” omel Kamila.
“Kamu tadi mau cerita soal Juwita, kenapa?”
Lalu Kamila pun cerita tentang apa yang di dengarnya dari Raya.
“Ya ampun, kok bisa dia lari ke kampung mau menggugurkan kandungan, dan ujung-ujungnya ketahuan oleh kamu juga?”
“Ya itulah, mungkin sudah diatur dari Sananya.”
“Tapi tiga ratus juta? Dia sudah gila? Etung-etungannya bagaimana, kok bisa tiga ratus juta?”
“Katanya dia punya penghasilan sebulan hampir seratus juta.”
“Jadi dia minta ganti penghasilan dia sampai dia melahirkan, sebanyak tiga ratus juta. Hebat sekali.”
“Bagaimana menurut kamu? Aku ada nomor telpon dia, aku kirimkan ya, barangkali kamu tertarik menghubungi dia.”
“Baiklah, tiga ratus juta ya?” Rosa terkekeh.
“Tetangga Raya itu tinggal di kampung, dia merasa kasihan, katanya. Bayi tidak berdosa ingin dibantai. Dasar bukan manusia.”
“Nanti aku akan bicara sama mas Rama, barangkali mas Rama bisa mengatasi masalah ini.”
“Syukurlah, semoga bayi itu baik-baik saja, dan bisa menjadi anak angkat kamu Ros, siapa tahu dia bisa jadi panutan.”
“Panutan bagaimana maksudnya?”
“Biasanya, orang yang belum punya anak, kata orang-orang tua nih, setelah mengambil anak angkat, lalu bisa memicu untuk segera bisa hamil anak sendiri.”
“Benarkah?” kata Rosa bersemangat.
“Iya, itu sih mitos, tapi siapa tahu bisa kejadian.”
“Ya sudah, aku akan segera menghubungi mas Rama, biar dia yang mengurusnya. Dia kan bisa menekan Juwita supaya tidak terlalu memaksakan kehendak. Tiga ratus juta, uang monopoli … barangkali.”
Kedua sahabat itu terkekeh senang. Seperti ada jalan untuk menyelamatkan si bayi, walau tidak harus dengan tiga ratus juta. Rama kan punya senjata untuk membuat Juwita diam. Bahkan Abi pasti juga akan bersedia membantu.
***
Damian bersungguh-sungguh memperhatikan cerita Raya, tentang wanita bernama Juwita itu.
“Apa kamu menginginkan bayi itu?”
“Apa? Tidak, aduh … mana mungkin Dam. Sudah, aku sudah menyerahkannya sama mbak Mila. Barangkali Mbak Mila sedang memikirkannya. Ada temannya yang ingin sekali punya anak. Aku dengar mbak Rosa, teman mbak Mila, sampai sekarang belum punya anak.”
“Baiklah, kalau kamu ingin, itu tidak sulit, dan tidak usah membayar tiga ratus juta untuk itu. Gratis,” kata Damian sambil tersenyum nakal.
Raya tersenyum sambil mencubit kecil pinggang suaminya. Sakit sih, tapi Damian suka menerimanya.
“Sekali cubitan, balasannya lebih dari satu cubitan lho,” goda Damian.
Raya kembali mencubit suaminya.
“Eh, dua kali? Baiklah, aku punya cara untuk membalasnya kok. Bukan dengan cubitan, aneh kalau laki-laki mencubit. Itu kan pekerjaan perempuan yang lagi gemes sama suami. Tapi balasannya manis kok, manis, legit, gurih.”
“Hiihh, norak.”
Damian terbahak sambil merangkul istrinya.
“Oh ya, sebenarnya aku mau bilang hal yang penting sama kamu.”
“Apa tuh?”
“Mulai besok, aku akan pulang agak sorean. Mungkin malam. Tapi tidak terlalu malam. Pokoknya lebih sore dari biasanya."
“Memangnya kenapa? Mau lembur?”
“Ya, begitulah. Lembur. Kamu tidak keberatan kan?”
“Dam, aku kok merasa bahwa kamu sedang melakukan kerja lebih keras demi aku. Benarkah?”
“Tidak juga. Biasa saja.”
“Dengar, aku mau menjadi istri kamu, dengan apapun yang kamu miliki. Aku tidak ingin lebih. Aku bahagia karena kita saling mencintai. Aku bahagia karena mimpiku agar kita bisa hidup berdampingan, menjadi nyata. Jadi aku harap kamu tidak terlalu memaksa bekerja terlalu keras, sampai lembur segala. Nanti kamu kecapekan Dam, bekerja biasa saja, berapapun gaji yang kamu berikan, aku pasti bahagia.”
Damian terharu. Mulai besok dia akan mulai dengan kegiatannya kuliah sore, tapi Raya mengira dia bekerja lebih keras demi mendapatkan penghasilan lebih, dan Raya tak ingin dia kecapekan. Dipeluknya istri tercintanya dengan erat.
“Ray, aku lembur bukan karena aku menginginkan gaji lebih, walaupun uang itu juga kita perlukan. Ada pekerjaan yang mengharuskan aku pulang lebih lambat. Jangan khawatir, aku tak akan lelah. Semuanya demi kamu.”
Damian menyingkirkan anak rambut ikal di kening Raya. Mengangkat wajahnya dengan pandangan mata yang penuh kasih sayang,
“Jadi kamu akan tetap kerja lembur?”
“Ijinkan aku melakukannya. Nanti kalau aku liburan, aku ajak kamu jalan-jalan. Kemanapun kamu inginkan.”
“Ke luar negri?” canda Raya.
“Mengapa tidak?”
Raya terkekeh.
“Tidak Dam, aku hanya bercanda. Di sinipun, asal bersamamu, aku bahagia.
Sebuah ketukan pintu mengejutkan mereka. Raya lebih dulu berlari ke arah depan, dan melihat seorang laki-laki yang belum pernah dilihatnya.
***
Besok lagi ya’
No comments:
Post a Comment